GLOBALBANTEN.COM | Kasus pagar laut di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, semakin menarik perhatian publik setelah Kejaksaan Agung RI mengembalikan berkas perkara ke Bareskrim Mabes Polri. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai ada indikasi tindak pidana korupsi dalam perkara ini, yang sebelumnya hanya dikategorikan sebagai pemalsuan surat.
Namun, ada kekhawatiran bahwa kasus ini sedang dikunci pada level pelaku di lapangan, sementara aktor intelektual dan pihak yang memiliki pengaruh besar di pemerintahan dan bisnis belum tersentuh. Apakah pengembalian berkas ini murni berdasarkan unsur hukum atau ada dinamika lain di baliknya?

Kembalikan Berkas Kasus Kades Kohod, Kejagung Arahkan Ke Tipikor
I. ANALISIS HUKUM KASUS PAGAR LAUT TANGERANG :
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
- Pemalsuan Dokumen dan Sertifikat Tanah
Berdasarkan informasi yang beredar, kasus ini berawal dari dugaan pemalsuan dokumen untuk memperoleh sertifikat tanah di perairan utara Tangerang. Pasal-pasal yang diduga dilanggar adalah:
” Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, dengan ancaman pidana penjara hingga 6 tahun.
” Pasal 264 KUHP tentang pemalsuan akta otentik, yang memperberat ancaman pidana hingga 8 tahun.
“Pasal 266 KUHP tentang menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, yang juga memiliki ancaman hukuman maksimal 7 tahun.
Fakta yang ditemukan bahwa sebanyak 263 sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan 17 sertifikat hak milik (SHM) Desa Kohod diduga diterbitkan secara ilegal, semakin memperkuat dugaan keterlibatan lebih dari sekadar oknum di tingkat desa.
- Indikasi Tindak Pidana Korupsi
Dalam proses penyidikan, JPU menemukan indikasi kerugian negara dan perekonomian akibat penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin reklamasi dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR). Hal ini berpotensi melanggar:
“Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara dengan ancaman pidana minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup.
“Pasal 3 UU Tipikor, yang mengatur penyalahgunaan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun.
Dalam konteks ini, patut dipertanyakan apakah hanya pejabat desa yang terlibat, atau ada aktor lain di tingkat pemerintahan dan korporasi yang ikut menikmati keuntungan dari penguasaan lahan secara ilegal?
II. DINAMIKA HUKUM :
Mengapa Berkas Dikembalikan? Ada dua kemungkinan mengapa Kejaksaan Agung mengembalikan berkas ke Bareskrim Mabes Polri, Yaitu di antara nya :
- Alasan Hukum Murni
JPU ingin memastikan bahwa penyidikan mencakup seluruh aspek, termasuk kemungkinan tindak pidana korupsi, sehingga berkas yang dikembalikan bertujuan untuk memperdalam penyelidikan. - Alasan Politik dan Tekanan Ekonomi
Tidak bisa diabaikan kemungkinan adanya intervensi dari pihak berkepentingan, terutama jika kasus ini berkaitan dengan proyek besar seperti pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland.
Jika benar ada keterlibatan pengembang besar dan pejabat tinggi dalam skema ini, bisa jadi pengembalian berkas adalah bagian dari strategi untuk mengulur waktu atau mengalihkan fokus agar hanya pelaku lapangan yang dijerat hukum. Tangerang (26/03/2025)
III. POTENSI UPAYA PENGUNCIAN KASUS :
Berdasarkan pola penanganan kasus serupa, ada indikasi bahwa penyidik kepolisian cenderung menekan kasus ini hanya pada delik pemalsuan surat, tanpa memperluasnya ke tindak pidana korupsi. Hal ini bisa dilihat dari beberapa poin berikut:
Pihak yang dijadikan tersangka adalah level bawah (Kepala Desa, Sekdes, dan pihak swasta yang mengurus izin), sementara pejabat yang mengesahkan dokumen di tingkat lebih tinggi belum tersentuh.
Minimnya penyelidikan terhadap pihak yang mengeluarkan izin reklamasi dan PKKPR, padahal ini adalah kunci dalam penguasaan lahan secara ilegal.
Pola pengembalian berkas bisa menjadi indikasi tarik-menarik kepentingan antara pihak yang ingin mengungkap kasus ini secara tuntas dan pihak yang ingin membatasi penyidikan.
Kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang bukan sekadar pemalsuan dokumen, tetapi diduga melibatkan korupsi sistemik yang merugikan negara. Jika hanya pelaku lapangan yang dikorbankan, maka akan ada impunitas bagi aktor intelektual yang seharusnya bertanggung jawab.
IV. SEBAGAI LANGKAH KONKRET, DIPERLUKAN:
Audit forensik atas seluruh sertifikat yang diterbitkan dan pihak yang mengeluarkan izin untuk mengetahui aliran keuntungan dari transaksi ilegal ini.
Penyelidikan mendalam oleh KPK jika unsur korupsi semakin jelas, mengingat potensi keterlibatan pejabat tinggi dalam kasus ini.
Pengawalan dari masyarakat sipil dan media agar kasus ini tidak berhenti hanya pada delik pemalsuan, tetapi mencakup seluruh aspek pidana yang relevan.
Kasus ini adalah ujian bagi penegakan hukum di Indonesia: apakah keadilan akan ditegakkan atau justru kembali tunduk pada tekanan oligarki?
Di Tulis Oleh: Akhwil, S.H. (Praktisi Hukum dan Aktivis LSM Tangerang Raya).