GLOBALBANTEN.COM – Pendapat hukum Akhwil. SH, selain berprofesi sebagai lowyer dirinya juga merupakan seorang aktivis yang getol memberi kritik dan masukan terkait permasalahan di pemerintahan, dalam bincang bincang sore saat team menanyakan terkait Penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut di pesisir Kabupaten Tangerang, Akhwil. SH mengatakan selain melanggar hukum aparat harus mengungkap modus manipulasi administratif yang melibatkan jaringan calo tanah, lawyer, notaris, pejabat pemerintah, serta pengembang. Dengan adanya dugaan kolusi dan keterlibatan pihak-pihak tertentu yang memiliki keahlian khusus dalam memanipulasi batas pantai, kasus ini semakin memperlihatkan kompleksitas praktik mafia tanah di wilayah pesisir. Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan pembongkaran pagar laut sepanjang 30 km dan evaluasi proyek reklamasi terkait. Berikut adalah analisis dari berbagai aspek:
- Aspek Hukum: Modus Operandi dan Keterlibatan Jaringan
Modus Manipulasi Administratif:
- Keterlibatan Calo Tanah dan Lawyer:
Calo tanah berperan dalam mencari dokumen lama (SPPT atau surat-surat tanah yang sudah tidak berlaku akibat abrasi). Rabu 22/01/2025
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lawyer kemudian menyusun dokumen hukum yang tampak legal, termasuk perjanjian jual beli, untuk memperkuat klaim kepemilikan lahan.
- Peran Konsultan dan Ahli Pemetaan Laut:
Konsultan ahli dalam pemetaan laut diduga disewa untuk menyulap wilayah yang sudah berubah menjadi laut akibat abrasi menjadi seolah-olah masih bagian dari daratan.
Dokumen pemetaan ini diajukan sebagai syarat teknis ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memperoleh izin perluasan batas pantai.
- Manipulasi Proses Peralihan Hak:
Warga lokal dilibatkan sebagai figur dalam proses peralihan hak untuk memberikan kesan bahwa transaksi tanah dilakukan secara sah. Warga diminta menandatangani dokumen fiktif sebagai penjual di hadapan notaris, meskipun tanah yang dimaksud sebenarnya sudah menjadi laut.
Notaris berperan menerbitkan Akta Jual Beli (AJB) tanpa verifikasi faktual, melanggar asas kehatian-hatian dan kode etik profesi.
- Peran BPN:
Dokumen yang telah dimanipulasi ini diajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk diterbitkan sertifikat HGB. Proses ini melibatkan dugaan kolusi antara pihak-pihak yang berkepentingan dan oknum BPN.
Pelanggaran Hukum yang Terjadi:
Pasal 263 dan 266 KUHP: Pemalsuan dokumen dan penyertaan dokumen palsu dalam akta autentik.
Pasal 106-107 Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2021: Sertifikat HGB yang terbit di atas laut dapat dibatalkan karena tidak sesuai dasar hukum.
UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014: Pemanfaatan ruang laut tanpa izin KKPRL adalah pelanggaran hukum yang serius.
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2021: Dugaan penyalahgunaan wewenang, suap, dan kolusi masuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
Konsekuensi Hukum:
Pembatalan sertifikat HGB dan sanksi administratif terhadap pejabat yang lalai.
Pidana penjara hingga 20 tahun bagi pihak yang terbukti terlibat dalam praktik kolusi dan manipulasi.
- Aspek Kerugian Negara
Kerugian Finansial: Negara kehilangan pendapatan dari pajak dan retribusi karena penerbitan HGB yang ilegal dan tidak memenuhi syarat.
Kerugian Lingkungan: Pemulihan ekosistem laut yang rusak akibat reklamasi memerlukan biaya besar yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Kerugian Kepercayaan Publik: Praktik ini merusak kredibilitas lembaga pemerintah seperti BPN dan instansi pengelola wilayah pesisir.
Jika pengembang tidak terlibat langsung tetapi telah mengeluarkan dana besar untuk membeli tanah dengan HGB ilegal, mereka juga menjadi korban dari praktik mafia tanah ini dan memiliki hak untuk menuntut ganti rugi.
- Aspek Lingkungan
Kerusakan Ekosistem: Pemagaran laut sepanjang 30 km dan reklamasi telah menghancurkan habitat laut, merusak terumbu karang, dan mengganggu ekosistem.
Risiko Bencana: Reklamasi dan pengalihfungsian laut menjadi daratan meningkatkan risiko abrasi dan banjir.
Pelanggaran UU Lingkungan Hidup: Melanggar Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Aspek Masyarakat Nelayan
Kehilangan Mata Pencaharian: Pemagaran laut menghalangi akses nelayan untuk melaut, memutus jalur tradisional mereka mencari ikan.
Kemiskinan Ekonomi: Nelayan kehilangan sumber penghidupan dan jatuh dalam lingkaran kemiskinan.
Potensi Konflik Sosial: Konflik horizontal antara masyarakat nelayan dan pihak pengembang tidak dapat dihindari jika tidak ada solusi konkret.
- Aspek Sosial dan Budaya
Kehilangan Identitas Lokal: Laut bagi masyarakat pesisir bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga bagian dari budaya dan identitas mereka.
Pengikisan Tradisi: Tradisi seperti perayaan laut dan kegiatan melaut yang diwariskan turun-temurun mulai hilang akibat penguasaan laut oleh pihak tertentu.
Marginalisasi Masyarakat Lokal: Pembangunan masif yang tidak melibatkan masyarakat lokal justru membuat mereka tersingkir dari wilayah mereka sendiri.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI :
Penerbitan HGB di atas laut mengungkap modus manipulasi administratif yang melibatkan calo tanah, lawyer, notaris, ahli pemetaan, dan oknum pejabat. Praktik ini tidak hanya merugikan negara tetapi juga menghancurkan lingkungan, budaya masyarakat pesisir, dan mata pencaharian nelayan. Untuk mengatasi masalah ini, langkah berikut harus dilakukan:
- Penegakan Hukum Tegas: Mengusut tuntas pihak yang terlibat, dari calo hingga pejabat yang menyalahgunakan wewenang.
- Audit Sertifikat: Melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh HGB yang diterbitkan di kawasan laut.
- Pemulihan Lingkungan: Rehabilitasi ekosistem laut yang rusak.
- Perlindungan Masyarakat: Memberikan solusi ekonomi dan perlindungan hak masyarakat nelayan.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa pengelolaan ruang laut dan pesisir harus mengutamakan kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan, bukan untuk segelintir pihak yang berusaha memperkaya diri dengan cara melawan hukum. (Jack)